Friday, April 27, 2012

hukum suami istri

Ketahuilah bahwa seorang suami adalah
pemimpin di dalam rumah tangga, bagi
isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah
telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah
memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih
besar daripada wanita, karena dialah yang
berkewajiban memberi nafkah kepada
isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi
perempuan (isteri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena
mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah
dan hartanya.” [QS. An-Nisaa' : 34]
Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas
isterinya yang harus senantiasa dipelihara,
ditaati dan ditunaikan oleh isteri dengan baik
yang dengan itu ia akan masuk Surga.
Masing-masing dari suami maupun isteri
memiliki hak dan kewajiban, namun suami
mempunyai kelebihan atas isterinya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka (para wanita) memiliki hak
seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang pantas. Tetapi para suami
mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [QS. Al-
Baqarah : 228]
[1]. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Setelah wali atau orang tua sang isteri
menyerahkan kepada suaminya, maka
kewajiban taat kepada suami menjadi hak
tertinggi yang harus dipenuhi, setelah
kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-
Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang
sujud kepada seseorang, maka aku akan
perintahkan seorang wanita sujud kepada
suaminya.” [1]
Sujud merupakan bentuk ketundukan
sehingga hadits tersebut di atas
mengandung makna bahwa suami
mendapatkan hak terbesar atas ketaatan
isteri kepadanya. Sedangkan kata:
“Seandainya aku boleh...,” menunjukkan
bahwa sujud kepada manusia tidak boleh
(dilarang) dan hukumnya haram.
Sang isteri harus taat kepada suaminya
dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung
kebaikan dalam agama). Misalnya ketika
diajak untuk jima’ (bersetubuh),
diperintahkan untuk shalat, berpuasa,
shadaqah, mengenakan busana muslimah
(jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu,
dan bentuk-bentuk perintah lainnya
sepanjang tidak bertentangan dengan
syari’at. Hal inilah yang justru akan
mendatangkan Surga bagi dirinya, seperti
sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat
yang lima waktu, berpuasa di bulan
Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga
kehormatannya), dan taat kepada suaminya,
niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana
saja yang dikehendakinya.” [2]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang sifat wanita penghuni Surga,
“Wanita-wanita kalian yang menjadi
penghuni Surga adalah yang penuh kasih
sayang, banyak anak, dan banyak kembali
(setia) kepada suaminya yang apabila
suaminya marah, ia mendatanginya dan
meletakkan tangannya di atas tangan
suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur
nyenyak hingga engkau ridha.’” [3]
Dikisahkan pada zaman Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang
wanita yang datang dan mengadukan
perlakuan suaminya kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Hushain
bin Mihshan, bahwasanya saudara
perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya)
pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam karena ada suatu keperluan.
Setelah ia menyelesaikan keperluannya, Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, “Apakah engkau telah
bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau
bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada
suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah
mengurangi (haknya) kecuali yang aku tidak
mampu mengerjakannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:
“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu
dengannya karena suamimu (merupakan)
Surgamu dan Nerakamu.” [4]
Hadits ini menggambarkan perintah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
memperhatikan hak suami yang harus
dipenuhi isterinya karena suami adalah Surga
dan Neraka bagi isteri. Apabila isteri taat
kepada suami, maka ia akan masuk Surga,
tetapi jika ia mengabaikan hak suami, tidak
taat kepada suami, maka dapat
menyebabkan isteri terjatuh ke dalam jurang
Neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.
Bahkan, dalam masalah berhubungan suami
isteri pun, jika sang isteri menolak ajakan
suaminya, maka ia akan dilaknat oleh
Malaikat, sebagaimana Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke
tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si
isteri menolaknya [sehingga (membuat)
suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat
oleh Malaikat hingga (waktu) Shubuh.” [5]
Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan:
“sehingga ia kembali”. Dan dalam riwayat lain
(Ahmad dan Muslim) disebutkan: “sehingga
suaminya ridha kepadanya”.
Yang dimaksud “hingga kembali” yaitu
hingga ia bertaubat dari perbuatan itu. [6]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa
menunaikan hak Allah sebelum ia
menunaikan hak suaminya. Andaikan suami
meminta dirinya padahal ia sedang berada di
atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap
tidak boleh menolak.” [7]
Dalam ajaran Islam, seorang isteri dilarang
berpuasa sunnat kecuali dengan izin
suaminya, apabila suami berada di rumahnya
(tidak safar). Berdasarkan hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat)
sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali
dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan
seseorang memasuki rumahnya kecuali
dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan
harta dari usaha suaminya tanpa
perintahnya, maka separuh ganjarannya
adalah untuk suaminya.” [8]
Dalam hadits ini ada tiga faedah:
[1]. Dilarang puasa sunnat kecuali dengan
izin suami.
[2]. Tidak boleh mengizinkan orang lain
masuk kecuali dengan izin suami.
[3]. Apabila seorang isteri infaq/shadaqah
hendaknya dengan izin suami.
Dalam hadits ini seorang isteri dilarang puasa
sunnat tanpa izin dari suami. Larangan ini
adalah larangan haram, sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam an-Nawawi
rahimahullaah.
Imam an-Nawawi berkata, “Hal ini karena
suami mempunyai hak untuk “bersenang-
senang” dengan isterinya setiap hari. Hak
suami ini sekaligus merupakan kewajiban
seorang isteri untuk melayani suaminya
setiap saat. Kewajiban tersebut tidak boleh
diabaikan dengan alasan melaksanakan
amalan sunnah atau amalan wajib yang
dapat ditunda pelaksanaannya.” [9]
Jika isteri berkewajiban mematuhi suaminya
dalam melampiaskan syahwatnya, maka lebih
wajib lagi baginya untuk mentaati suaminya
dalam urusan yang lebih penting dari itu,
yaitu yang berkaitan dengan pendidikan
anak dan kebaikan keluarganya, serta hak-
hak dan kewajiban lainnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah
mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat
petunjuk bahwa hak suami lebih utama dari
amalan sunnah, karena hak suami
merupakan kewajiban bagi isteri.
Melaksanakan kewajiban harus didahulukan
daripada melaksanakan amalan
sunnah.” [10]
Agama Islam hanya membatasi ketaatan
dalam hal-hal ma’ruf yang sesuai dengan Al-
Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang
dipahami oleh generasi terbaik, yaitu
Salafush Shalih. Sedangkan perintah-perintah
suami yang bertentangan dengan hal
tersebut, tidak ada kewajiban bagi sang isteri
untuk memenuhinya, bahkan dia
berkewajiban untuk memberikan nasihat
kepada suaminya dengan lemah lembut dan
kasih sayang.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju
Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor -

Comments :

0 comments to “hukum suami istri”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by nazwa-555

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger